
Gugatan Perpu PUPN sebagai Pelajaran Penting untuk RUU Perampasan Aset di Indonesia
Gugatan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) PUPN menjadi sorotan penting dalam konteks hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Pengamat hukum dari Universitas Airlangga, Hardjuno Wiwoho, menekankan bahwa kasus ini dapat menjadi pelajaran berharga dalam proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset. Gusatan tersebut menguji sejauh mana sistem hukum Indonesia mampu menjaga keseimbangan antara perlindungan keuangan negara dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan.
Pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Hardjuno menyampaikan bahwa pokok masalah utama dari gugatan tersebut adalah lemahnya pengawasan terhadap proses penetapan obligor pemerintah, termasuk validitas dokumen dan rekening yang digunakan. Jika ditemukan bahwa salinan putusan Mahkamah Agung (MA) yang digunakan untuk menagih aset ternyata palsu dan digunakan secara ilegal oleh pemerintah, hal ini menjadi persoalan serius terkait kepastian hukum di Indonesia. Selain itu, pemindahan dana ke rekening bank yang diduga bukan milik pihak yang ditagih juga menunjukkan perlunya reformasi sistem hukum untuk memastikan keadilan dan transparansi.
Dalam konteks penyusunan RUU Perampasan Aset, pengamat menekankan pentingnya instrumen hukum yang kuat namun tetap mengedepankan prinsip keadilan, perlindungan bagi pihak ketiga, serta mekanisme pembuktian yang terbuka. “RUU Perampasan Aset harus menjamin proses hukum yang adil dan transparan, agar kekuasaan tidak disalahgunakan,” ujar Hardjuno. Ia juga mengingatkan bahwa gugatan terhadap Perpu PUPN harus menjadi momentum evaluasi ulang bagi pemerintah dan DPR terkait materi dalam RUU Perampasan Aset agar tidak menimbulkan kekuasaan sepihak yang berpotensi menyita aset tanpa sertifikasi yudisial yang memadai.
Perpu Nomor 49 Tahun 1960, yang kerap digunakan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dalam penyitaan aset para obligor, kini sedang diuji melalui pengajuan uji materi oleh pengusaha dan bankir, Andri Tedjadharma. Pemohon menilai bahwa penerapan Perpu tersebut telah melakukan kriminalisasi dan langkah koersif yang tidak sesuai prosedur, serta menuntut keadilan dan perlindungan hak asasi. Pemerintah, melalui Direktur Jenderal Kekayaan Negara, menegaskan bahwa Perpu tersebut dimaksudkan untuk melindungi keuangan negara dan menegaskan bahwa ketentuan Perpu dibuat demi kepentingan nasional, di tengah kritik dan tantangan dari berbagai pihak.
Gugatan terhadap Perpu PUPN dan potensi revisi RUU Perampasan Aset menegaskan pentingnya mekanisme hukum yang adil, transparan, dan akuntabel dalam penanganan aset negara serta kejahatan ekonomi. Peristiwa ini sekaligus menjadi pengingat bahwa reformasi sistem hukum Indonesia harus terus dilakukan agar keberlangsungan serta keadilan sosial dapat terjamin bagi seluruh masyarakat.