lpsk-enam-isu-perlindungan-saksi-korban-perlu-diatur-dalam-ruu-kuhap

Enam Isu Penting Perlindungan Saksi dan Korban dalam RUU KUHAP

Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Achmadi, menegaskan pentingnya pengaturan enam isu krusial terkait perlindungan saksi dan korban di dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) bersama Komisi III DPR RI dan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Achmadi menyampaikan sejumlah poin utama yang harus menjadi perhatian dalam menyusun RUU KUHAP demi meningkatkan perlindungan hukum bagi saksi dan korban tindak pidana.

Pertama, Achmadi menekankan bahwa fungsi perlindungan saksi dan korban harus diatur secara spesifik sebagai subsistem penting dalam sistem peradilan pidana nasional. Hal ini bertujuan agar perlindungan terhadap saksi dan korban menjadi bagian integral dari proses peradilan, sehingga mereka mendapatkan perlindungan yang maksimal dari ancaman atau intimidasi selama proses hukum berlangsung.

Kedua, perlunya pengaturan hak-hak saksi dan korban secara lengkap dalam RUU KUHAP. Achmadi menyebutkan bahwa hak-hak ini belum sepenuhnya diadopsi dari Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban sebelumnya. Oleh karena itu, revisi ini harus menambahkan norma yang menjamin hak saksi dan korban secara komprehensif, termasuk hak mendapatkan perlindungan, informasi, serta keadilan dalam proses hukum.

Selain itu, isu ketiga yang tak kalah penting adalah perlunya pengaturan tentang hukum acara penyampaian pernyataan terkait dampak kejahatan yang dialami oleh korban, dikenal sebagai victim impact statement (VIS). Penyampaian VIS ini penting agar pengadilan memperoleh gambaran penuh tentang dampak kejahatan terhadap korban, sehingga putusan pengadilan dapat lebih adil dan manusiawi.

Selanjutnya, Achmadi menyoroti perlunya mekanisme pengaturan restitusi, yaitu pengembalian kerugian kepada korban, yang harus diatur secara jelas dalam KUHAP. Hal ini bertujuan agar korban mendapatkan haknya atas dampak kejahatan yang dialaminya secara langsung dan adil. Selain itu, pengaturan mengenai saksi pelaku atau justice collaborator juga perlu dimasukkan untuk memperkuat proses pembuktian dan penegakan hukum.

Terakhir, pentingnya pengaturan dana pemulihan korban kejahatan anche harus diatur dalam RUU KUHAP. Dana ini akan digunakan untuk membantu korban dalam proses pemulihan fisik maupun psikologis, sehingga mereka dapat kembali menjalani kehidupan normal selepas terkena kejahatan. Achmadi menyatakan bahwa isu-isu ini penting karena selama ini KUHAP yang berlaku lebih berorientasi pada tersangka dan terdakwa, sementara perlindungan terhadap saksi dan korban masih kurang mendapat perhatian secara memadai.

Pengaturan yang komprehensif terkait perlindungan saksi dan korban dalam RUU KUHAP diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana di Indonesia. Peningkatan perlindungan ini penting demi terciptanya sistem hukum nasional yang adil dan manusiawi.