
Respons Pemerintah dan Bank Dunia tentang Data Kemiskinan Nasional Indonesia
Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa data garis kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan indikator yang paling akurat dan relevan untuk mengukur kondisi kemiskinan di Indonesia. Hal ini disampaikan sebagai tanggapan terhadap perbedaan angka kemiskinan yang dikeluarkan oleh Bank Dunia dan data resmi dari BPS.
Data terbaru dari Bank Dunia menunjukkan bahwa sekitar 68,3 persen penduduk Indonesia hidup di bawah standar kemiskinan negara berpendapatan menengah atas pada tahun 2024. Sebaliknya, menurut data BPS hingga September 2024, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 8,57 persen. Perbedaan angka ini mencerminkan pendekatan yang berbeda dalam pengukuran kemiskinan, di mana data BPS lebih memperhitungkan pola konsumsi lokal, variasi harga regional, dan realitas sosial-ekonomi masyarakat Indonesia.
Pemerintah menegaskan bahwa data dari BPS lebih mencerminkan kondisi nyata di lapangan dan menjadi dasar utama dalam penyusunan kebijakan nasional. Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Dedek Prayudi, menjelaskan bahwa garis kemiskinan nasional menyesuaikan dengan kebutuhan domestik dan tidak hanya menjadi tolok ukur global seperti yang dilakukan oleh Bank Dunia.
Dedek Prayudi menambahkan bahwa pemerintah Indonesia tetap akan menggunakan data garis kemiskinan dari BPS sebagai acuan utama dalam pengambilan kebijakan. Pendekatan ini bertujuan untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar relevan dan efektif dalam mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Selain itu, pemerintah juga berfokus pada upaya pengentasan kemiskinan secara berkelanjutan melalui pembangunan sumber daya manusia, termasuk program pendidikan, kesehatan, dan nutrisi, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG). Hal ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk mengurangi kemiskinan melalui pengembangan modal manusia sebagai fondasi utama.
Dalam kerangka kebijakan tersebut, Pemerintah juga mengadopsi Indeks Deprivasi Multidimensi (MDI) sebagai alat ukur yang lebih komprehensif, mengingat kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan pendapatan semata, tetapi juga akses terhadap air bersih, pendidikan, gizi, dan kondisi hidup layak. Kementerian Keuangan melalui Kerangka Ekonomi Makro Tahun 2026 menekankan bahwa memastikan akses terhadap kebutuhan dasar adalah prioritas utama.
Sementara itu, Bank Dunia menyatakan bahwa data garis kemiskinan yang dirilis oleh BPS lebih relevan untuk mengukur kondisi kemiskinan nasional Indonesia secara spesifik. Data Bank Dunia lebih digunakan sebagai tolok ukur dalam konteks global dan perbandingan antar negara, mengingat pendekatan pengukuran internasional berbeda dengan pendekatan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia.
Perbedaan pendekatan ini bersifat sengaja dilakukan, mengingat tujuan utama dari kedua pengukuran berbeda. Data nasional bertujuan untuk mendukung kebijakan domestik dan pengentasan kemiskinan yang efektif sesuai kondisi lokal, sedangkan data internasional digunakan untuk analisis dan perbandingan global.
Dengan adanya perbedaan tersebut, pemerintah Indonesia menegaskan komitmennya untuk terus fokus dalam pengentasan kemiskinan berbasis data lokal dan pembangunan berkelanjutan, serta memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar dan peluang untuk berkembang secara adil dan merata.